Senin, 26 April 2010 | 03:36 WIB
Oleh Masdar Hilmy*
Ketika demokrasi belum kunjung memberikan kesejahteraan, kepercayaan atasnya bisa menjelma menjadi keraguan dan bahkan keputusasaan. Pada titik ini, kepercayaan kita atas demokrasi sebenarnya sedang dipertaruhkan.
Padahal, penerapan demokrasi meniscayakan keuletan, kesabaran, kesungguhan, dan integritas; sebuah kualitas karakter pantang menyerah yang akan mengantarkan kita pada entitas ”demokrasi penuh” (full-fledged democracy).
Sebagai bangsa yang baru be- lajar berdemokrasi, trial and error, menjadi hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah ketika kita gagal belajar dari kesalahan masa lalu sehingga kita terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Yang terpenting dalam berdemokrasi, dengan demikian, adalah proses, bukan hasil; bagaimana kita bisa menikmati setiap jengkal langkah kita sebagai sebuah proses ”menjadi” yang penuh makna. Dan, setiap keberhasilan kita melewati setiap jengkal tersebut patut dirayakan dan diapresiasi sebagai batu pijakan untuk langkah berikutnya.
Perjalanan menuju full-fledged democracy jelas penuh onak dan duri. Di hadapan kita telah menghadang serangkaian ”uji kesetia- an” (litmus test) yang dipersyaratkan demokrasi. Di luar diskursus publik tentang substansi, ”jenis kelamin”, dan mekanisme berdemokrasi, membuncahnya kejahatan ”kerah putih” oleh elite politik dan birokrasi di segala lini yang berujung pada tergadaikannya kesejahteraan rakyat merepresentasikan salah satu episode litmus test yang dimaksud.
Berbagai kasus hukum yang mengemuka akhir-akhir ini, seperti fenomena mafia peradilan, makelar kasus, dan skandal Centurygate, tidak lebih dari onak-duri demokrasi yang harus dilalui secara dewasa dan bermartabat.
Sindrom ”hipotesis Lee”
Dalam konteks relasi demokrasi dan kesejahteraan ekonomi, terminologi ilmu politik mengenal adanya ”hipotesis Lee” (Lee hypothesis) karena ia pertama kali diartikulasikan oleh Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura. Hipotesis ini meyakini bahwa sistem nondemokrasi lebih bisa menjamin kesejahteraan ekonomi ketimbang sistem demokrasi. Artinya, untuk menjadi kaya, sebuah bangsa tidak wajib menerapkan sistem demokrasi. Pendapatnya benar belaka ketika kita merujuk pada sejumlah negara ”disipliner” semacam Korea Selatan, Singapura, dan China.
Namun, tingkat capaian ekonomi di negara-negara tersebut tidak dilakukan melalui kerangka demokrasi. Memang benar bahwa pemerintah di negara-negara tersebut berhasil membuat perut mayoritas warga negara menjadi kenyang, tetapi mulut dan pikirannya tidak dibiarkan menikmati hak-hak sipil. Yang terjadi di negara-negara tersebut adalah menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Lebih tepatnya, palu godam bagi kebebasan sipil para warga negaranya.
Sejauh ini tidak ada bukti empiris meyakinkan bahwa tata pemerintahan otoriter/totaliter yang membungkam hak-hak sipil warga turut berkorelasi terhadap kesejahteraan ekonomi warganya. Sejumlah kajian empiris serius semisal oleh Robert Barro (1995) atau Adam Przeworski (1996) justru membuktikan sebaliknya bahwa pemenuhan hak-hak sipil warga tidak menghalangi capaian kinerja ekonomi sebuah bangsa.
Kinerja dan kontribusi demokrasi dalam penciptaan iklim ekonomi yang sehat terletak pada pemenuhan hak-hak sipil warga dalam pengawasan anggaran dan akuntabilitas publik serta pencegahan atas terjadinya bencana atau krisis ekonomi lebih sistemik. Penyediaan hak-hak sipil memungkinkan setiap warga untuk terlibat dalam mengontrol dan merumuskan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (public good). Selain itu, respons sebuah pemerintah atas penderitaan warga sering kali baru muncul akibat tekanan yang dilakukan secara terus-menerus oleh semua elemen masyarakat, sebuah mekanisme yang hanya ada dalam sistem demokrasi.
Kebermaknaan eksistensial
Namun, perlu dicatat, perjalanan menuju ”demokrasi penuh” harus dimaknai sebagai never-ending business. Artinya, kesempurnaan bangsa dalam berdemokrasi merupakan pergumulan eksistensial yang tak pernah usai. Sedemokratis dan semakmur apa pun sebuah bangsa tidak otomatis terbebas dari persoalan. Persoalan jelas menjadi keniscayaan bagi seluruh bangsa; tinggal bagaimana setiap bangsa mendekati dan menyelesaikan persoalan yang dimaksud. Yang jelas, semakin demokratis sebuah bangsa, semakin dewasa dia menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan. Begitu pula sebaliknya.
Memang betul bahwa kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari seluruh ingar-bingar politik keseharian sebuah rezim demokrasi. Dalam konteks ini, demokrasi adalah sarana, bukan tujuan. Lebih tepatnya, sarana menuju kesejahteraan. Oleh karena itu, tujuan kita berdemokrasi bukanlah demi demokrasi itu sendiri, melainkan untuk sesuatu beyond demokrasi, yakni kesejahteraan. Dalam artikelnya, Democracy as Universal Value (1999), Amartya Sen menegaskan, ”A country does not have to be deemed fit for democracy; rather, it has to become fit through democracy.”
Namun, jangan salah, demokrasi bukanlah melulu soal kesejahteraan dalam pengertiannya yang sempit (baca: kesejahteraan ekonomi). Ada substansi lebih mendasar dari sekadar itu: kebermakaan demokrasi bagi pemeliharaan dan kultivasi kedirian bangsa secara kolektif.
Artinya, keberadaan demokrasi tidak perlu menggerus konsep kedirian (the self) kita sebagai sebuah bangsa yang berkarakter. Amartya Sen (Ibid., 11) merekomendasikan tiga peran substantif demokrasi agar keberadaannya benar-benar bermakna bagi pengembangan kedirian sebuah bangsa: 1) peran intrinsik sebagai penjamin partisipasi politik dan kemerdekaan dalam kehidupan manusia, 2) peran instrumental sebagai insentif politik dalam menjamin pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel, dan 3) peran konstruktif dalam pembentukan dan kultivasi nilai serta memahami kebutuhan, hak, dan kewajiban.
Percaya diri
Oleh karena itu, belum berlabuhnya kesejahteraan secara merata bukan alasan untuk berpaling dari demokrasi. Kita harus tetap memelihara asa dan keyakinan terhadapnya. Kita juga tidak berada pada posisi memilih salah satu di antara dua pilihan yang saling menegasikan, demokrasi atau kesejahteraan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu koin uang yang sama: sama-sama penting karena menyangkut hajat hidup setiap warga negara.
Barangkali ada (dan mungkin banyak) sisi-sisi perbedaan antara praktik demokrasi di Indonesia dengan negara-negara lainnya. Sejauh ini, praktik demokrasi di banyak negara berdemokrasi mapan tetap menjadi cermin yang baik bagi kita untuk belajar berdemokrasi. Memang jalan menuju demokrasi tidak perlu sama karena banyak jalan menuju demokrasi. Kata Bob Hefner (2000; 216), ”There is no one-size-fits-all democracy.” Tidak ada demokrasi yang berlaku untuk semua. Sepanjang pengamatan Hefner, Indonesia tidak memiliki ”kejanggalan peradaban” (civilizational malady) untuk menerapkan demokrasi.
Walhasil, keajaiban pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara dengan tingkat demokrasi rendah mestinya tidak menggoyahkan kesetiaan kita berdemokrasi. Sesungguhnya apa yang dicapai oleh negara-negara tersebut tidak ada kaitannya dengan demokrasi, tetapi murni menyangkut strategi ekonomi yang dianut.
*Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Kompas, senin, 26 April 2010
0 komentar:
Posting Komentar