Jumat, 14 Agustus 2009

Selayang Pandang Sejarah PMII

S E K A P U R S I R I H

Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa datang. Dokumen historis, dengan demikian merupakan instrumen penting untuk mengaca diri. Tidak terkecuali PMII. Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar jelas berikut pemikiran dan sikap-sikapnya.
PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang juga anak dari NU. Status anak cucu inipun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodjijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.


PMII DALAM LENSA SEJARAH
MASA EMBRIONAL KELAHIRAN PMII

Cikal Bakal PMII
Berdirinya organisasi ini bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) untuk medirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Pada bulan Desember 1955 berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU). Berdirinya IMANU ini ditentang keras oleh Pimpinan Pusat Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang baru saja berdiri tanggal 24 Februari 1954. IPNU beranggapan bahwa berdirinya IMANU masih terlalu ‘pagi’, mengingat masih minimnya jumlah mahasiswa NU di perguruan tinggi, dan khawatir kalau IMANU justru akan berpisah meninggalkan IPNU.
Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari adanya keinginan para mahasiswa Nahdliyin untuk membentuk suatu wadah (organisasi) mahasiswa. Ide ini tak dapat dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama-Ikatan Pelajar puteri Nahdlatul Ulama), secara historis PMII merupakan mata rantai dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang dibentuk dalam Muktamar III IPNU di Cirebon, Jawa Barat, tanggal 27-31 Desember 1858. di dalam wadah IPNU-IPPNU ini terdapat banyak mahasiswa yang menjadi anggotanya, bahkan mayoritas fungsionaris pengurus pusat IPNU-IPPNU berpredikat sebagai mahasiswa.
Itulah sebabnya, keinginan di kalangan mereka untuk membentuk suatu organisasi khusus yang mewadahi para mahasiswa nahdliyin. Pemikiran ini sempat terlontar pada Muktamar II IPNU tanggal 1-5 Januari di Pekalongan, Jawa Tengah , tetapi para pucuk pimpinan IPNU sendiri tidak menangapi secara serius. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi di dalam IPNU sendiri masih perlu pembenahan. Tetapi aspirasi kalangan mahasiswa yang tergabung dalam IPNU ini makin kuat. Hal ini terbukti pada muktamar III IPNU di Cirebon, Jawa Barat, di mana pucuk pimpinan IPNU di desak oleh para peserta muktamar untuk membentuk wadah khusus yang akan menampung para mahasiswa Nahdlatul Ulama, namun secara fungsional dan struktur organisasi masih tetap dalam naungan IPNU, yakni dalam wadah Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Namun, langkah yang diambil oleh IPNU untuk menampung aspirasi para mahasiswa nahdliyin dengan membentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU pada kenyataannya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ini terbukti pada Konferensi Besar (pertama) IPNU di Kaliurang, Yokyakarta, yang diselenggarakan pada tanggal 14-16 Maret 1960. Konferensi ini memutuskan terbentuknya suatu wadah/organisasi mahasiswa nahdliyin yang terpisah secara struktural dan fungsionaris dari IPNU-IPPNU.

Proses kelahiran PMII
Seperti telah disebutkan dimuka, bahwa puncak Konferensi Besar IPNU pada tanggal 14-16 Maret 1960, di Kaliurang, Yokyakarta, dicetuskan suatu keputusan yaitu perlunya didirikan suatu organisasi mahasiswa yang terlepas dari IPNU baik secara struktural organisasi maupun administratif. Kemudian di bentuk panitia sponsor pendiri organisasi mahasiswa yang terdiri dari 13 orang dengan tugas melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyin se-Indonesia di Surabaya dengan batas waktu 1 (satu) bulan pasca keputusan tersebut.
Adapun ke 13 (tiga belas) sponsor pendiri organisasi mahasiswa itu adalah sebagai berikut :
1. Chalid Mahardi (Jakarta)
2. Said Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. M. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. H. Ismail Makky (Yogya)
7. Munsif Nahrawi (Yogya)
8. Nuril Huda Suaidy (Surakarta)
9. Laily Mansur (Surakarta)
10. Abd. Wahab Jailani (Semarang)
11. Hisbullah Huda (Surabaya)
12. M. Cholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Husain (Makassar)
Seperti diuraikan oleh sahabat Chotibul Umam (mantan Rektor PTIQ Jakarta), pra melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyin, terlebih dahulu 3 dari 13 orang sponsor pendiri itu, yaitu Hisbullah Huda (Surabaya), Said Budairy (Jakarta), dan Maksum Syukri (Bandung) pada tanggal 19 Maret 1960 berangkat ke Jakarta menghadap Ketua Umum Partai Nahdlatul ulama (NU) yaitu KH. Idham Khalid untuk meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah yang akan dilaksanakan. Salah satu pesan KH. Idham Khalid yang menjadi pegangan bagi mahasiswa nahdliyin pada waktu itu yaitu hendaknya organisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat diandalkan, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ‘ilmu untuk di amalkan’ bagi kepentingan rakyat, bukan ‘ilmu untuk ilmu’.
Awal mula berdirinya PMII nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU. Hal ini terlihat jelas dalam aktifitas PMII antara tahun 1960-1972 (pra PMII menyatakan Independen) sebagian besar program-programnya berorientasi politis. Ada beberapa hal yang melatar belakangi, diantaranya: pertama, adanya anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU, sehingga bangunan gerakan dan aktifitas selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan langkah partai NU.
Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu sangat kondusif untuk gerakan-gerakan politis, sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi policy pemerintahan Orde Lama (Orla). Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik seperti itu .
Lebih jauh sahabat Mahbub Djunaidi (ketua umum PMII pertama) mengatakan “Mereka bilang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa non-partai, bahkan non-politis, yang berdiri diatas semua golongan, tidak kesana, tidak kesini, seperti seorang mandor yang tidak berpihak. Sebaliknya kita beranggapan, justru mahasiswa itulah yang harus berpartisipasi secara konkrit dengan kegiatan-kegiatan partai politik”.

Kondisi di Awal Berdirinya PMII
Pada saat PMII berhasil mengadakan konsolidasi ke dalam tubuh organisasi , baik tubuh pengurus maupun anggota, pada waktu bersamaan pula PMII telah melakukan upaya-upaya nasional. Diantaranya sewaktu Persatuan Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI) masih hidup. PMII yang menjadi salah satu anggotanya turun aktif di dalamnya. Di samping itu PMII berkiprah dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yakni satu komando yang bertujuan menggayang paham komunis di bumi Indonesiadan menjaga keamanan negara dan bangsa. Di samping upaya-upaya nasional, PMII juga berpartisipasi dalam kegiatankegiatan Internasional. Diantaranya pada bulan september 1960 PMII ikut serta dalam Konferensi Pembentukan Panitia Internasional Forum Pemuda se-Dunia di Moscow (Constituent Meeting of the Youth Forum). Pada pertengahan tahun 1962 PMII mengikuti seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur. Tahun 1962 juga, selama tiga (3) bulan, PMII berkesempatan menghadiri Festival Pemuda se-Dunia di Helsniki, Finlandi. Pada tahun 1965 ikut serta menghadiri seminar Internasional mengkaji masalah Palestina di Kairo, yang diselenggarakan oleh General Union of Palestine Student (GUPS).


PMII DAN KERUNTUHAN ORDE LAMA

PMII dan Episode Akhir Orde Lama
Pada tanggal 19-26 Desember 1964 di Jakarta pernah diadakan Musyawarah Nasional Generesi Muda Islam (GEMUIS). Musyawarah yang gagasan awalnya muncul dari gerakan Pemuda Ansor ini, bertujuan memperkuat ukhuwah islamiyah yang pada saat itu mengalami ujian akibat fitnah yang dilancarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hasil dari pertemuan tingkat nasional Generasi Muda Islam ini memutuskan membentuk suatu organisasi yang bersifat konfederatif. PMII dalam organisasi ini duduk sebagai Sekretaris Jenderal Presidium Pusat yang diwakili sahabat Said Budairy. Musyawarah Nasional ini sebagai reaksi atas aksi-aksi yang dilancarkan oleh antek-antek PKI khususnya CGMI (Consentrasi Gabungan Mahasiswa Indonesia), sebuah organisasi yang berafiliasi kepada PKI, yang kian memuncak menjelang peristiwa G.30.S/PKI .
Adapun kelahiran Orde Baru dapat dikatakan sebagai langkah koreksi total terhadap kebijakan rezim orde Lama. Kelahiran Orde Baru sebenarnya merupakan conditionine quanon, karena nampaknya rezim Orde Lama sudah tidak mampu lagi berdiri secara politik apalagi secara ekonomi. Kelahiran Orde Baru ini dipercepat lagi dengan adanya gerakan PKI yang berusaha merebut kekuasaan melalui aksi kudeta yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan 30 September/ G.30.S/PKI .
Sebenarnya ada atau tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya bantuan dari luar negeri, akibatnya rakyat semakin menderita, karena laju inflasi membumbung tinggi sampai 600% dan pemangkasan mata nilai rupiah dilakukan berkali-kali, tetapi hal itu tidak mampu merubah keadaan. Suasana yang sudah kritis ini ditambah lagi dengan tindakan Orde Lama yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, yang berakibat separoh dari anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan politik konfrontasi tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, PKI memanfaatkan suasana –mengail ikan di air yang keruh- dengan melemparkan isu bahwa dewan Jenderal akan merebut kekuasaan (kudeta) dari tangan Presiden Soekarno. Dalam keadaan seperti itu, rezim Orde Lama dihadapkan pada posisi yang serba dilematis, disatu pihak, jika rezim ini menghukum dan membubarkan PKI, jelas akan berhadapan dengan pemerintahan komunis di Cina yang selam ini mendukung politik Soekarno dalam politik konfrontasi dengan Malaysia, tetapi di lain pihak, jika tetap mempertahankan PKI jelas akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri, terutama rakyat yang selama ini terus menerus difitnah oleh PKI .
Melihat situasi yang tdiak menentu itu, para toko dan aktivis organisasi mahasiswa ekstra Universitas berinisiatif membentuk suatu wadah perjuangan untuk menegakkan kembali keadilan dan menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia yang tertindas. Mereka tampil dengan semboyan: TRI-TURA (Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat) :
1. Bubarkan PKI beserta antek-anteknya.
2. Retor Menteri-menteri yang goblok
3. turunkan harga.
Gerakan itu dipimpin oleh tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan ketua umum presidium pusatnya sahabat Zamroni (ketua umum PMII periode ke IV). Dengan posisi seperti itu dapat diketahui bahwa PMII punya andil sangat besar dalam kegiatan dan mobilisasi KAMI dalam rangka kelahiran Orde Baru.

PMII DAN KEBANGKITAN ORDE BARU

PMII Pasca Kelahiran Orde Baru
Warisan yang ditinggalkan pemerintahan Orde Lama berupa kondisi sosial-ekonomi dan politik yang tidak menentu. Seputar awal kelahiran Orde Baru (1966) kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia benar-benar parah.salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini adalah dengan mengadakan senering (pengguntingan nilai mata uang), namun tidak mampu menolong keadaan perekonomian yang memang diluar jangkauan pengelolaan pemerintah. Selain itu, pemerintah Orde Baru di awal kebangkitannya mengeluarkan kebijakan politik yang dikenal dengan strukturisasi ideologi dan golongan. Yang dimaksud dengan strukturisasi ideologi dan golongan seperti yang dikemukan oleh Ali Moertopo dalam bukunya Strategi Politik Nasional :
1. Menciptakan dan kematangan stabilitas politik.
2. Perubahan struktur politik dengan pengakuan bagi Golkar.
3.Menciptakan mekanisme dan infra-struktur politik yang dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam melansirkan usaha-usaha pembangunan.
4. Membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat banyak.

Salah satu wujud perombakan struktur politik dengan menyeimbangkan kekuatan-kekuatan golongan fungsional (sekarang ; Golkar) dengan kekuatan-kekuatan partai politik yang berperan dalam wadah parlemen. implikasinya adalah menambah jumlah anggota DPR-GR pada posisi yang lebih menguntungkan kedudukan golongan fungsional, dengan satu argumen demi menjamin kelangsungan hidup Orde Baru dengan demokrasi Pancasila. Sudah barang tentu tindakan berupa kebijakan pemerintah Orde Baru seperti ini sangat merugikan partai politik. Salah satunya adalah partai NU sendiri, dengan PMII sebagai pendukungnya.
Keterlibatan PMII dalam arus kegiatan politik praktis justru berakibat fatal , PMII justru melupakan dirinya sebagai organisasi kemahasiswaan yang pada hakikatnya merupakan suatu gerakan intelektual dan gerakan moral. Tetapi dengan terseretnya PMII dalam kegiatan politik praktis maka PMII hanyut sehingga menjadi ‘bumper politik’ .
Salah satu moment penting bagi PMII pasca kelahiran Orde Baru adalah pelaksanaan kongres IV PMII di Makassar (Ujung Pandang) pada tanggal 25-31 April 1970, hal ini dianggap penting karena beberapa hal :
Pertama, kongres IV PMII merupakan peletak dasar perjalanan PMII pada zaman Orde Baru, bersama dengan dimulainya Rancangan Repelita I pemerintahan Orde Baru. Kedua, kongres IV PMII ini adalah merupakan kongres yang pertama diadakan di luar Jawa, yaitu di Makassar, jal ini untuk membuktikan bahwa PMII tidak hanya besar di Pulau Jawa, tetapi juga mempunyai potensi dan basis yang kuat di luar Jawa, kongres ini hadiri oleh sekitar 100 utusan Cabang PMII. Ketiga, bersama dengan pelaksanaan kongres IV PMII ini juga dilaksanakan Musyawarah Nasional yang pertama yaitu Korp PMII Puteri .
Momentum sejarah perjalanan PMII yang membawa perubahan secara mendasar pada perjalanan selanjutnya adalah dicetuskannya “Independensi PMII” pada tanggal 1972 di Murnajati Lawang Malang Jawa Timur, yang kemudian kita kenal dengan “Deklarasi Murnajati” . Lahirnya deklarasi ini berkenaan dengan situasi politik nasional, ketika peran partai politik dikebiri – bahkan partisipasi dalam pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi – dan mulai dihapuskan. Hal ini mulai dirasakan oleh NU yang nota bene merupakan partai politik.

PMII Dalam bayang-bayang Orde Baru
Akibat dari perubahan drastis iklim politik pemerintahan Orde Baru dimana kehidupan politik lebih menekankan pada iklim “ketenangan” yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk hidup kongres IV PMII jor-joran seperti pada masa lalu, maka kehidupan organisasi mahasiswa , apalagi bagi organisasi mahasiswa yang dependen pada partai politik. Dampaknya pada suasana kehidupan berorganisasi terasa pengab.
Kelahiran Orde Baru secara dramatis pada 11 Maret 1966, menghantarkan Indonesia pada pintu harapan adanya perubahan orientasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Kekuatan militer pimpinan Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan dari pemuda dan mahasiswa.
Akan tetapi, masa ‘bulan madu’ penguasa baru dengan mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradiktif persepsi mulai nampak menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis mengecam rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti beringsut dari komitmen awal kelahirannya, bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adanya elit di lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kecenderungan penyimpangan politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Keadaan ini menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah satu asisten pribadi (aspri) presiden Soeharto yaitu Ali Moertopo dengan potensi partnernya, melakukan manuver politik yang menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan aksi protes mahasiswa pada tahun tujuh puluhan.
Sadar akan besarnya potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa rezim Orde Baru secara sistematis mulai melakukan kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan yang secara teoritis-praksis dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan polisi, atau penanam ideologi.
Untuk menjawab persoalan mendasar tersebut, PMII memberikan pertimbangan beberapa pemikiran di bawah ini :
1. Mahasiswa perlu mengembangkan pemikiran-pemikiran yang lebih kritis dan analitis dalam menghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki kepekaan dalam melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat seperti nilai, kepentingan, dan kekuasaan.
2. Mahasiswa perlu meningkatkan kepekaan dan kepeduliaan sosialnya, yakni sadar akan siapakah yang diuntungkan oleh pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya (para masyarakat lapis bawah).
3. Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh aktivis KAMI dan lainnya yang dulu memimpikan hasil yang sukses dan konkrit dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan kenyataannya hasil dari perjuangan itu semakin lama semakin menipis, berhubung dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan background dari kekuatan-kekuatan pendukung Orde Baru .

Selain itu, PB PMII mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintahan saat terjadi pengadilan mahasiswa (merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra kampus).
Pada tahun 1974, ketika NU telah melakukan fusi politik dengan partai-partai Islam lain dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), maka deklarasi Independensi (1972) di Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena memang harus menegaskan visinya bukan sebagai bagian dari partai politik.
Selama kurun masa (80-90-an), kepengurusan di PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI, dan GMKI adalah alat, sarana sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi-kursi di KNPI yang didukung oleh pemerintah (Orde Baru). Nyata-nyatanya hanya organisasi-organisasi pro-pemerintah yang pada akhirnya mendapatkan kursi di KNPI dan selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan tempat dalam kultur politik Orde Baru yang sangat nepotis . Artinya, antrian menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan melalui strategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu tatkala HMI yang menjadi (rival utamanya) selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim Orde Baru melalui politik ijo royo-royo, di mana lebih dari 300 orang anggota MPR RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama-sama organ-organ mahasiswa Forum Cipayung minus HMI mendirikna sebuah forum bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya politik aliran di Indonesia yang ditandai dengan semakin massifnya kelompok-kelompok yang tergabung di dalam ICMI dengan mengusung representasi Islam yang mayoritas di dalam kekuasaan. Dengan dukungan Orde Soeharto, ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini dengan mengusung isu Islamisasi, baik di sektor ekonomi dengan mendirikan Bank Muamalat, di Media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan sebagai koran Islam, maupun permodalan dengan mendirikan BPR-BPR Syariah. Di sektor ekonomi, isu yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan anti cina, sebagai kelompok yang dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan rezim Orde Baru adalah gerakan mahasiswa dipenghujung dekade 1990-an , dimana PMII berdiri di barisan paling depan dalam menghancurkan rezim Orde Baru, sebagaimana NU juga berdiri di barisan paling depan dalam mengganyang PKI pada paruh kedua tahun 1960-an.

SALAM KEBEBASAN BERGERAK
--------------------------------------------------------------------------------------------

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by marlaf sucipto dan moh. mukit | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons