Selasa, 27 April 2010

Meyakini Jalan Demokrasi Kita

Senin, 26 April 2010 | 03:36 WIB


Ketika demokrasi belum kunjung memberikan kesejahteraan, kepercayaan atasnya bisa menjelma menjadi keraguan dan bahkan keputusasaan. Pada titik ini, kepercayaan kita atas demokrasi sebenarnya sedang dipertaruhkan.

Padahal, penerapan demokrasi meniscayakan keuletan, kesabaran, kesungguhan, dan integritas; sebuah kualitas karakter pantang menyerah yang akan mengantarkan kita pada entitas ”demokrasi penuh” (full-fledged democracy).

Sebagai bangsa yang baru be- lajar berdemokrasi, trial and error, menjadi hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah ketika kita gagal belajar dari kesalahan masa lalu sehingga kita terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Yang terpenting dalam berdemokrasi, dengan demikian, adalah proses, bukan hasil; bagaimana kita bisa menikmati setiap jengkal langkah kita sebagai sebuah proses ”menjadi” yang penuh makna. Dan, setiap keberhasilan kita melewati setiap jengkal tersebut patut dirayakan dan diapresiasi sebagai batu pijakan untuk langkah berikutnya.

Perjalanan menuju full-fledged democracy jelas penuh onak dan duri. Di hadapan kita telah menghadang serangkaian ”uji kesetia- an” (litmus test) yang dipersyaratkan demokrasi. Di luar diskursus publik tentang substansi, ”jenis kelamin”, dan mekanisme berdemokrasi, membuncahnya kejahatan ”kerah putih” oleh elite politik dan birokrasi di segala lini yang berujung pada tergadaikannya kesejahteraan rakyat merepresentasikan salah satu episode litmus test yang dimaksud.

Berbagai kasus hukum yang mengemuka akhir-akhir ini, seperti fenomena mafia peradilan, makelar kasus, dan skandal Centurygate, tidak lebih dari onak-duri demokrasi yang harus dilalui secara dewasa dan bermartabat.

Sindrom ”hipotesis Lee”

Dalam konteks relasi demokrasi dan kesejahteraan ekonomi, terminologi ilmu politik mengenal adanya ”hipotesis Lee” (Lee hypothesis) karena ia pertama kali diartikulasikan oleh Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura. Hipotesis ini meyakini bahwa sistem nondemokrasi lebih bisa menjamin kesejahteraan ekonomi ketimbang sistem demokrasi. Artinya, untuk menjadi kaya, sebuah bangsa tidak wajib menerapkan sistem demokrasi. Pendapatnya benar belaka ketika kita merujuk pada sejumlah negara ”disipliner” semacam Korea Selatan, Singapura, dan China.

Namun, tingkat capaian ekonomi di negara-negara tersebut tidak dilakukan melalui kerangka demokrasi. Memang benar bahwa pemerintah di negara-negara tersebut berhasil membuat perut mayoritas warga negara menjadi kenyang, tetapi mulut dan pikirannya tidak dibiarkan menikmati hak-hak sipil. Yang terjadi di negara-negara tersebut adalah menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Lebih tepatnya, palu godam bagi kebebasan sipil para warga negaranya.

Sejauh ini tidak ada bukti empiris meyakinkan bahwa tata pemerintahan otoriter/totaliter yang membungkam hak-hak sipil warga turut berkorelasi terhadap kesejahteraan ekonomi warganya. Sejumlah kajian empiris serius semisal oleh Robert Barro (1995) atau Adam Przeworski (1996) justru membuktikan sebaliknya bahwa pemenuhan hak-hak sipil warga tidak menghalangi capaian kinerja ekonomi sebuah bangsa.

Kinerja dan kontribusi demokrasi dalam penciptaan iklim ekonomi yang sehat terletak pada pemenuhan hak-hak sipil warga dalam pengawasan anggaran dan akuntabilitas publik serta pencegahan atas terjadinya bencana atau krisis ekonomi lebih sistemik. Penyediaan hak-hak sipil memungkinkan setiap warga untuk terlibat dalam mengontrol dan merumuskan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (public good). Selain itu, respons sebuah pemerintah atas penderitaan warga sering kali baru muncul akibat tekanan yang dilakukan secara terus-menerus oleh semua elemen masyarakat, sebuah mekanisme yang hanya ada dalam sistem demokrasi.

Kebermaknaan eksistensial
Namun, perlu dicatat, perjalanan menuju ”demokrasi penuh” harus dimaknai sebagai never-ending business. Artinya, kesempurnaan bangsa dalam berdemokrasi merupakan pergumulan eksistensial yang tak pernah usai. Sedemokratis dan semakmur apa pun sebuah bangsa tidak otomatis terbebas dari persoalan. Persoalan jelas menjadi keniscayaan bagi seluruh bangsa; tinggal bagaimana setiap bangsa mendekati dan menyelesaikan persoalan yang dimaksud. Yang jelas, semakin demokratis sebuah bangsa, semakin dewasa dia menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan. Begitu pula sebaliknya.

Memang betul bahwa kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari seluruh ingar-bingar politik keseharian sebuah rezim demokrasi. Dalam konteks ini, demokrasi adalah sarana, bukan tujuan. Lebih tepatnya, sarana menuju kesejahteraan. Oleh karena itu, tujuan kita berdemokrasi bukanlah demi demokrasi itu sendiri, melainkan untuk sesuatu beyond demokrasi, yakni kesejahteraan. Dalam artikelnya, Democracy as Universal Value (1999), Amartya Sen menegaskan, ”A country does not have to be deemed fit for democracy; rather, it has to become fit through democracy.”

Namun, jangan salah, demokrasi bukanlah melulu soal kesejahteraan dalam pengertiannya yang sempit (baca: kesejahteraan ekonomi). Ada substansi lebih mendasar dari sekadar itu: kebermakaan demokrasi bagi pemeliharaan dan kultivasi kedirian bangsa secara kolektif.

Artinya, keberadaan demokrasi tidak perlu menggerus konsep kedirian (the self) kita sebagai sebuah bangsa yang berkarakter. Amartya Sen (Ibid., 11) merekomendasikan tiga peran substantif demokrasi agar keberadaannya benar-benar bermakna bagi pengembangan kedirian sebuah bangsa: 1) peran intrinsik sebagai penjamin partisipasi politik dan kemerdekaan dalam kehidupan manusia, 2) peran instrumental sebagai insentif politik dalam menjamin pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel, dan 3) peran konstruktif dalam pembentukan dan kultivasi nilai serta memahami kebutuhan, hak, dan kewajiban.

Percaya diri

Oleh karena itu, belum berlabuhnya kesejahteraan secara merata bukan alasan untuk berpaling dari demokrasi. Kita harus tetap memelihara asa dan keyakinan terhadapnya. Kita juga tidak berada pada posisi memilih salah satu di antara dua pilihan yang saling menegasikan, demokrasi atau kesejahteraan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu koin uang yang sama: sama-sama penting karena menyangkut hajat hidup setiap warga negara.

Barangkali ada (dan mungkin banyak) sisi-sisi perbedaan antara praktik demokrasi di Indonesia dengan negara-negara lainnya. Sejauh ini, praktik demokrasi di banyak negara berdemokrasi mapan tetap menjadi cermin yang baik bagi kita untuk belajar berdemokrasi. Memang jalan menuju demokrasi tidak perlu sama karena banyak jalan menuju demokrasi. Kata Bob Hefner (2000; 216), ”There is no one-size-fits-all democracy.” Tidak ada demokrasi yang berlaku untuk semua. Sepanjang pengamatan Hefner, Indonesia tidak memiliki ”kejanggalan peradaban” (civilizational malady) untuk menerapkan demokrasi.

Walhasil, keajaiban pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara dengan tingkat demokrasi rendah mestinya tidak menggoyahkan kesetiaan kita berdemokrasi. Sesungguhnya apa yang dicapai oleh negara-negara tersebut tidak ada kaitannya dengan demokrasi, tetapi murni menyangkut strategi ekonomi yang dianut.

*Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Kompas, senin, 26 April 2010

Minggu, 25 April 2010

ADONIS DAN "NOVELISME" PMII


Rijal Mumazziq Zionis*




Hari ini (17/04) terasa istimewa bagi organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebab organisasi kemahasiswaan ini resmi berusia setengah abad. Lalu, di usia yang menapak senja ini, mampukah PMII me-refresh arah ge(b)rakannya?







Dalam konteks pemikiran, saya melihat tersendatnya persemaian bibit intelek-tual dalam tubuh PMII dan organisasi kemahasiswaan lain. Gejala yang agak menjengkelkan, terjadi sebuah “novelisme” dalam mainstream pemikiran anak-anak muda ini. Novel, dalam kamus Webster berarti 'new and unusual, being the first of its kind'. Novelisme, saya menyebutnya demikian, adalah kecenderungan ingin mengejar “mode” pemikiran terbaru, mutakhir, terkini, dst.




Dulu, tatkala revolusi Islam Iran sukses, ideolog Ali Syariati langsung digandrungi generasi kampus. Syariati begitu “seksi” sehingga menjadi inspirasi nan memikat. Begitu pamor revolusi Iran mudah pudar, Syariati “digantikan” pemikir neo-modernis Fazlurrahman. Nama terakhir ini begitu memikat karena didukung promosi tulisan-tulisan Cak Nur dan Syafii Maarif, dua murid Rahman. Begitulah, “novelisme” kian tumbuh subur seiring dengan gencarnya pembaruan pemikiran yang menjadi mode. Kian baru mode pemikiran tersebut, kian dianggap seksi. Hassan Hanafi muncul, lalu tersaingi Abdullahi Ahmed an-Naim, kemudian digeser Abed al-Jabiri. Mohammed Arkoun lalu menggantikan perubahan arus mode pemikiran, sebelum digantikan “bintang” anyar bernama Nasr Hamid Abu Zayd. Alhasil, terdapat kecenderungan memperlakukan sebuah pemikiran seolah-olah seperti handphone yang langsung tak laku begitu model terbaru tiba di pasaran.



Dalam kecenderungan novelisme di atas, semakin klasik sebuah pemikiran, segera saja ia menjadi out of date dan kurang seksi. Karena sejarah seperti ‘juggernaut’ yang melaju dengan cepat, maka semakin baru sebuah pemikiran, segera saja menggeser paradigma lawas. Tergantung expiry date-nya. Tak heran jika gagasan-gagasan cemerlang dari Ibn Khaldun, Ibn Rusyd, Ibn Miskawaih, al-Razy, al-Thufy, hingga al-Syathiby, kalah “seksi” dibandingkan dengan generasi pemikir baru yang lahir ratusan tahun setelah era nama-nama di atas.







Di sini, yang diperdebatkan penulis bukan hanya kecenderungan novelisme yang melanda kaum muda kampus, khususnya insan pergerakan. Lebih dari itu, kecenderungan ini juga tampak dalam konteks pemikiran secara umum di Indonesia. Kecenderungan impor pemikiran ini justru malah mematikan denyut kreativitas para (calon) pemikir-pemikir Indonesia. Hingga kini, secara umum, sangat sulit mencari intelektual (muda) yang sibuk wira-wiri secara komutatif antara tradisi masa lampau dan masa kini.




Melihat realitas demikian, saya teringat Adonis, penyair dan budayawan Arab kontemporer. Ia memunculkan istilah al-tsabit (yang tetap) dan al-mutahawwil (yang berubah). Istilah tersebut ia gunakan dalam judul bukunya yang sedikit memicu polemik dan kontroversi di dunia Arab tahun 1980-an, Al-tsabit wa al-mutahawwil : bahts fi al-ittiba’ wa al-Ibda’ ‘inda al-Arab (Yang tetap dan yang berubah: Pembahasan Perihal Epigonisme dan Inovasi di Dunia Arab). Adonis, melalui bukunya, melancarkan kritik yang argumentatif nan rumit terhadap kondisi bangsa Arab. Menurutnya, aspek al-Ittiba’ (epigonis) lebih menguat daripada watak al-Ibda’ (inovasi). Al-ibda’; menempuh jalan baru yang belum pernah ada sebelumnya, masih kalah moncer dibandingkan dengan al-Ittiba’ ; mengikuti pola yang sudah ada. Untuk itulah, ia sampai pada kesimpulan, terpuruknya bangsa Arab dalam pemikiiran, politik, dan kebudayaan adalah akibat sikap al-Ittiba’ tadi.




Peta pemikiran yang digelar Adonis di Arab, bisa jadi klop dengan konteks ke-Indonesiaan. Ya, terdapat kecenderungan al-Ittiba’ secara serampangan, terutama da-lam mainstream pemikiran di kalangan generasi kampus. Dalam hal ini, sebagai kader, saya melihat belum adanya al-Ibda’ di kalangan sahabat-sahabat PMII, terutama dalam membangun konstruksi arah perjuangan organisasi, berikut ge(b)rakan yang inovatif-progresif di bidang peningkatan kapasitas intelektual. Kalaupun ada, boleh jadi hanyalah ge(b)rakan gagasan dari “luar” yang diberi sampul “Indonesia”, persis merk mobil Timor itu.



Ke depannya, saya berharap pola kaderisasi PMII di bidang intelektual semakin diseriusi. Alangkah sayang jika kader-kader PMII, yang mayoritas lahir dari rahim pe-santren—yang menjadi pewaris khazanah intelektual klasik—malah mengikuti pola novelisme yang menjadi gejala umum di Indonesia. Minimnya ge(b)rakan intelektual, seolah menggambarkan betapa sepinya PMII (dan organ kemahasiswaan lain) dari generasi pemikir yang secara genuine mampu menyilangkan khazanah intelektual klasik dengan gagasan kontemporer, lalu mengkonstruksikan rancang bangun pemikiran Islam yang meng-Indonesia. Dirgahayu PMII.




Salam Pergerakan!

REFLEKSI SETENGAH ABAD PMII (Saatnya Mereformulasi Arah Gerakan)


RIJAL MUMAZZIQ ZIONIS*


Tepat pada 17 April tahun ini, organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) resmi berusia setengah abad. Apa yang bisa diharapkan dari organisasi ‘hijau’ ini saat menapak usia yang kian senja? 



Jika merujuk pada fakta historis, berdirinya organisasi ini memang tak lepas dari kegerahan generasi muda NU yang merindukan sebuah organisasi yang secara ideologis seakar dengan induk semangnya, namun membawa spirit progresivitas, militansi, dinamisasi intelektual, serta responsif terhadap perkembangan zaman.


 

Untuk itulah dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan PMII, tarik-menarik kepentingan tak terelakkan, terutama dalam merumuskan relasi ideologis dengan induk semangnya (baca: NU), maupun dalam konteks perubahan arah perpolitikan bangsa; pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru hingga Orde Baru ke Orde Reformasi.



Arah pergerakan organisasi kemahasiswaan ini, jika diamati dengan seksama menunjukkan pola gerakan ala Sunni; mencerminkan karakteristik elastis, dialogis, dan cenderung kurang reaksioner. Untuk itulah, di satu sisi, gerakan berpola seperti ini tampak pragmatis, namun di sisi lain mampu berdialog dengan zaman tanpa menimbulkan gesekan radikal. Dalam kontekstuasasinya, paham ke-Sunni-an ini termanifestasikan dalam perangkan doktrin Aswaja sebagai manhajul fikr (metodologi berpikir).

 



Mencari Jenis Kelamin PMII



Dalam usianya, tantangan berat yang dihadapi PMII sebenarnya bersifat internal, yakni tarik menarik idealisme antarkader PMII. Dengan kata lain, terdapat polarisasi kepentingan di dalam PMII sendiri dalam perumusan “jenis kelamin” organisasi. Ada yang masih menghendaki PMII sebagai pot penyemai bibit intelektual kaum muda.



 

Sebagian lagi mengehendaki PMII sebagai gerbong pengangkut kader ke wilayah kekuasaan. Ada juga yang menginginkan PMII menjadi anak ideologis dan penjaga tradisi NU. Ada pula yang mencita-citakan PMII sebagai bumi penyemai gerakan civil society. Pun tak sedikit yang menganggap PMII sebagaimana paguyuban; wadah silaturrahmi dan temu kangen para kader.



 

Begitulah, sebagai kader, saya melihat PMII saat ini masih belum establish dalam penentuan jenis kelamin. Sekali lagi, inilah tantangan internal organisasi “Perisasi Biru” ini.



 

Ke depannya, saya memimpikan adanya penegasan pada jenis kelamin PMII yang sebenarnya. Jika tidak, maka akan terjadi schizophrenia alias pecah kepribadian dalam tubuh PMII. “Situasi antara” (in between situation) ini jelas akan membingungkan para kader.



 

Adapun secara eksternal, PMII masih menghadapi tantangan klasik; pertarungan ideologi yang kian mengemuka. Saat ini, basis-basis gerakan mahasiswa secara garis besar terpetakan menjadi dua arus besar; “kiri” dan “kanan”. Dalam konteks pertarungan ini, konsep Aswaja sebagai manhajul fikr yang menjadi basis nilai perjuangan (di samping Nilai Dasar Pergerakan alias NDP) belum secara matang dikontekstualisasikan. Saripati Aswaja sebagai manhajul fikr (‘adalah, tawazun, tawassuth, tasamuh, dan amar ma’ruf nahi munkar), menurut saya, masih bersifat global dan kurang operasional-implementatif, sehingga konsep mentah tersebut masih belum ampuh menjadi perisai yang membentengi kader PMII dari tarik-menarik kepentingan antara ideologi “kiri” dan “kanan”. 

 



Persoalan klasik ini sebenarnya selesai manakala bangunan kelembagaan (institutional building) kokoh, operasional, dinamis, dan antisipatif teradap problem yang dihadapi. Sayangnya, capacity building (bangunan kapasitas) para pengurus masih menjadi biang keladi ketidakkokohan institutional building itu sendiri. Perkaranya terletak pada penempatan personel pengurus (yang lazimnya) didasarkan pada politik dagang sapi (bukan kualitas dan kapabilitas). Akibatnya, mekanisme roda organisasi seringkali terhambat (Tim Kaderisasi PKC Jatim, 2003: 7).

 



Maka, dalam usia setengah abad ini, PMII butuh me-refresh pola gerakannya agar tetap menjadi organisasi yang progresif dalam pemikiran, militan dalam kaderisasi, responsif dalam menjawab tantangan zaman, serta mampu menjadi pot penyemai bibit intelektual muda. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi titik awal menuju reformulasi arah gerakan.



 

Pertama, secara kuantitas, basis massa PMII hanya terpusat di kampus-kampus agama Islam semacam IAIN, UIN, maupun STAI. Kampus-kampus tersebut seolah menjadi pemasok utama kebutuhan kader di PMII. Ke depannya, perlu terobosan yang inovatif agar basis massa PMII diperluas ke kampus-kampus umum. Pola pengaderan PMII, jika diamati hanya bertumpu pada pola pengaderan formal, sedangkan secara informal maupun non-formal kurang ‘dilirik’. Akibatnya, dari sekian banyak kader yang tersaring, sebagian hanya menjadi tabiin dan tabiut tabiin, bukan mejadi sahabat yang militan.



 

Kedua, dalam pemenuhan nutrisi intelektual, tampaknya kader-kader PMII lebih gandrung pada pemikir-pemikir “kiri” seperti Marx, Freire, Gramsci, Habermas, Hanafi, Arkoun, an-Naim, Asghar Ali, dan sebagainya. Dalam konteks perebutan wacana ideologis maupun pembentukan bangunan epistemologis, tawaran-tawaran kaum kiri tersebut masih relevan. Akan tetapi, sebagai anggota sebuah organisasi mahasiswa “Islam”, saya jarang menjumpai sahabat-sahabat yang dengan fasih mengutip pemikiran cemerlang Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Miskawaih, Ibn Khaldun, al-Razy, al-Tawhidy, al-Thufy hingga al-Syathiby. Padahal, bangunan epistemologis yang dimapankan oleh intelektual Islam klasik tersebut masih relevan hingga saat ini.



 

Ke depannya, saya berharap arah reformulasi gerakan intelektual dilakukan dengan “mengawinkan” khazanah intelektual Islam klasik dengan progresivitas pemikiran kaum kiri. Dengan begitu, arah gerakan intelektual PMII yang bertumpu pada kaidah al-muhafadat ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah bisa menjadi dentuman intelektual yang kanonik.



 

Wa ba’du, dalam usia yang kian senja, PMII dituntut tetap kritis-responsif mencermati gerak zaman. Untuk itulah, soliditas gerakan menjadi pra-syarat utama yang harus dipenuhi untuk menjadi dinamis dan responsif. Soliditas gerakan mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi wacana, distribusi kader, dan wilayah perebutan hegemoni antarorgan gerakan mahasiswa. Semoga. Salam pergerakan!




*Aktivis PMII Rayon Syariah  IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, sekarang aktif sebagai Derektur Majalah AULA NU Jawa Timur


Tulisan ini terbit diharian Duta Masyarakat pada Senin, 19 April 2010

Kamis, 22 April 2010

Alur Gerakan Perempuan (FEMINISME)

Team : GENDER (materi PKD 2010)



Pengantar


Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.



 

Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.



 

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.



 

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´



 

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.



 

Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.



 

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.



 

Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.



 

Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.



 

Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.



 

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.



 

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.



 

Aliran Dalam Feminis


 

Feminisme liberal


Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.



 

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.



 

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.



 

Feminisme radikal


Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".



 

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).



 

Feminisme post modern


Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

 



Feminisme anarkis


Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

 



Feminisme Marxis


Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.



 

Feminisme sosialis


Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.



 

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.



 

Feminisme postkolonial


Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class  menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.

STRATEGI ADVOKASI: KONSEP DAN IMPLEMENTASI

By : Team Advokasi (Materi PKD 2010)

 

Pengantar


Dalam konsep developmentalisme yang dikembangkan di negara-negara berkembang –kasus Indonesia misalnya- telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan yang bersifat material. Pembangunan memang menjadi ’kata kunci’ bagi keinginan untuk ’mengejar ketertinggalan’ dengan negara lain atau dengan daerah lain. Karenanya, di setiap daerah yang ’dibangun’ akan terlahir berbagai bentuk akitivitas-aktivitas yang diselenggarakan untuk kepentingan tersebut.



 

Dalam konteks ini, untuk mempercepat implementasi tersebut dalam berbagai bidang; maka negara akan melahirkan sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas pembangunan. Kebijakan (publik) menjadi penting dalam logika negara agar setiap aktivitas pembangunan memperoleh legitimasi yuridis formal; dan (tragisnya) dapat bersembunyi ketika implementasi pembangunan harus bersentuhan (dan memunculkan problem konflik) dengan kepentingan lain. Misalnya, pembangunan jalan yang melahirkan penggusuran atau ganti rugi yang tidak adil, penggusuran Pedagang Kaki Lima karena alasan penertiban kota, siswa DO karena alasan tidak sanggup membayar sejumlah biaya, dan sebagainya.



 

Kebijakan dalam logika negara adalah untuk kepentingan publik, makanya diberikanlah istilah kebijakan publik. Perspektif negara dalam konteks kebijakan publik ini akhirnya memberikan implikasi logis untuk memposisikan rakyat pada posisi objek, bukan sebagai subjek pembangunan. Menjadi wajar jika kemudian paradigma demikian (rentan) melahirkan realitas paradoks dalam pembangunan; untuk mensejahterakan rakyat atau justru sebaliknya. Karena ternyata dalam berbagai kasus, ada banyak kebijakan (publik) pembangunan justru melahirkan situasi kontraproduktif.



 

Kasus-kasus konflik yang melibatkan negara di satu sisi dan melibatkan rakyat di sisi lain terkait dengan lahirnya sejumlah kebijakan merupakan faka yang tidak dapat ditutup-tutupi.        Ada banyak kebijakan yang akhirnya (dianggap) tidak berpihak pada kepentingan publik, kecuali kepentingan ekonomi-politik negara atau kekuasaan. Fakta bahwa dalam setiap konflik antara negara (baca: kekuasaan) dengan rakyat ternyata tidak pernah menguntungkan rakyat, karena hampir tidak pernah ada konflik antara keduanya dimenangkan oleh rakyat. Tatkala rakyat dirugikan dalam berbagai kebijakan tersebut, maka lahirlah sejumlah kegiatan untuk memberikan pendampingan bagi rakyat atau siapa saja yang mendapatkan perlakuan ’tidak adil’ tersebut. Pendampingan-pendampingan tersebut, baik yang dilakukan oleh Lembaga bantuan Hukum, LSM atau lembaga-lembaga yang konsen dengan perjuangan keadilan sosial, merupakan suatu bentuk advokasi.



 

Konsep Advokasi


Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.



 

Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.  



 

Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.



 

Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.



 

Membantu orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah, bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.



 

Mengapa Kebijakan?


Sesungguhnya masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance, yakni negara, swasta dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak seimbang, biasanya terjadi karena ada persekongkolan antara negara dan swasta, maka dapat dipastikan akan lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat merugikan masyarakat. Ruang lingkup kebijakan publik itu sendiri meliputi peraturan (rules), regulasi, standarisasi, Undang-Undang, pernyataan dan Instruksi (Decree) yang memiliki fungsi sebagai norma umum, standar etika maupun sanksi.



Satu bentuk produk kebijakan yang merugikan masyarakat luas misalnya saja kebijakan Pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai Release and Discharge (R&D) yang membebaskan sekaligus memberikan jaminan tidak akan dituntut secara hukum bagi para konglomerat pengguna BLBI yang telah melunasi utang mereka.



 

Kebijakan ini sungguh konyol dan merugikan masyarakat luas karena pemerintah sama sekali tidak memperhatikan dimensi pidana korupsi, adanya moral hazard, pelanggaran prinsip prudential dalam berbagai kasus BLBI. Pemerintah menganggap kasus BLBI hanya merupakan perkara perdata utang-piutang saja. Padahal dana negara (baca: masyarakat) yang digunakan untuk BLBI mencapai Rp 600 triliun. Di sisi lain, Pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM bagi masyarakat miskin karena subsidi dianggap membebani anggaran negara. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi BBM? Menurut Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, mencapai Rp 69 Triliun dengan asumsi harga minyak dunia per barel adalah US$ 37. Coba bandingan dengan dana BLBI yang dipakai untuk ‘mensubsidi’ para konglomerat perbankan yang mencapai Rp 600 triliun.



 

Kebijakan yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, dari sisi perimbangan, dana yang dialokasikan untuk belanja rutin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Kedua, kebutuhan akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung dengan kebutuhan real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal, pesawat, helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah satu contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat. Ketiga, anggaran untuk menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal karena alokasinya sangat besar.



 

Dari beberapa contoh kasus diatas, kita dapat melihat secara jelas bahwa akar masalah yang menjadi penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena adanya kebijakan. Dengan demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi.



 

Oleh karena itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik tidak mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi.



 

Agar kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar. Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya, perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan.



 

Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja dan Kerangka Jaringan


Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:



 

Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.  

 



Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen).

 



Ketiga, adalah budaya hukum (content of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.        

 



Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:


 

Proses-proses legislasi dan juridiksi,


yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.



 

Proses-proses politik dan birokrasi,


yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.



 

Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi,


yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.

 



Mengingat advokasi merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran perubahan ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan advokasi adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan kerja organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi, sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai catatan, tidak ada satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan advokasi tanpa ada jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin besar keterlibatan berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat diberikan dan semakin mudah kegiatan advokasi dilakukan.



 

Untuk membentuk jaringan organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk jaringan yang memadai. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan organisasi advokasi yang satu sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi yang berbeda, namun berada pada garis koordinasi dan target yang sama :



 

Jaringan kerja garis depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi, melibatkan diri dalam aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar sekutu (aliansi). Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan advokasi jaringan kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan ketrampilan untuk melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.

 



Jaringan kerja basis yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader, mobilisasi aksi dan membentuk lingkar inti.



jaringan kerja pendukung yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara mengupayakan dukungan logistic, dana, informasi, data dan akses.



 

Berhasil atau tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan strategi yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan advokasi. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:



 

bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah itu UU, Perda atau produk hukum lainnya.



kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.



Realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya.

 



Batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai. dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi

 



Analisa Ancaman dan Peluang.


Kaidah-kaidah advokasi


 

Sebagai kegiatan yang terencana dan sistematis, maka ada beberapa kaidah yang menjadi pegangan bagi tiap orang yang melakukan advokasi. Kaidah-kaidah tersebut adalah;



 

Mencermati posisi kasus; digunakan untuk memetakan persoalan yang berisikan identifikasi masalah, potensi dan peluang serta jangka waktu yang dikerjakan.



 

Identifikasi siapa kawan dan siapa lawan; dilakukan untuk memperkecil lawan dan memperbanyak kawan, melalui identifikasi siapa saja yang mendukung dan siapa saja yang menentang.



 

Kerjakan rencana yang sudah dibuat; agar tidak secara tibga-tiba mengubah sasarab dan target yang sudah disepakati dan disusun.

 



Tetap konsisten pada masalah


Jangan mudah ditakuti atau diintimidasi


Berimajinasilah


Berdoalah

 



Cara Melakukan Advokasi


Advokasi untuk menuntut perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang yang biasa dinamakan dengan langkah legislasi. Misalnya, counter draf (pengajuan konsep-konsep tanding), judicial review (hak uji materiil) atau langkah-langkah ligitasi dengan menguji di pengadilan lewat satu kasus.

 



Penggunaan lobi, strategi negosiasi, mediasi dan kolaborasi. Hal ini memerlukan jaringan yang kuat dan luas. Paling tidak ada 3 kekuatan yang menjadi basis dukungan, pertama, kerja pendukung yang menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses, kedua, kerja basis menjadi dapur gerakan dalam membangun basis masa, lewat pendidikan kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi aksi, dan ketiga, kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai juru bicara, perunding, pelobi, dan terlibat dalam upaya penggalangan dukungan.

 



Melakukan kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot, peroganisasian basis dan pendidikan politik. Mlelaui pemanfaatan jaringan yang ada, pertama, lingkaran inti yaitu mereka yang tergolong sebagai penggagas, pemrakarsa pendiri, penggerak utama sekaligus pengendali arah kebijakan, tema atau isu dari sasaran advokasi. Biasanya kelompok inti adalah mereka yang mempunyai kesamaan ideologi. Kedua, adalah jaringan sekutu, yang melakukan kerja-kerja aksis, biasanya terdiri dari mereka yang mempunyai kesamaan kepentingan.

 



Penutup


Demikianlah berbagai catatan tentang advokasi. Pada intinya advokasi biasanya diselenggarakan melalui dua bentuk. Pertama, jalur non ligitasi (tanpa melalui pengadilan atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif, dan kedua, jalur ligitas yakni melalui proses pengadilan. Jalur-jalur tersebut biasanya dilakukan dengan melihat efektifitas sebuah gerakan advokasi. Terimakasih.

ASWAJA DAN TEOLOGI PEMBEBASAN

By : Team Aswaja & Teologi Pembebasan (Materi PKD)



“Teologi merupakan refleksi dari kondisi social-kultur yang bersifat kontekstual, cenderung lebih konkret dan histories dan tidak eternal yang selalu cocok dalam kurun waktu dan sejarah” (Asgar Ali Enginer)



Teologi pembebasan muncul pertama kali di negara Amerika Latin.

 


Pada masa itu terjadi penindasan serta gerakan repreisif dari penguasa, pemerintahan oligarki memberikan kehidupan yang sengsara kepada rakyat. Keadaan ekonomi, soisial dan politik tidak menciptakan kemakmuran untuk rakyat. Malah menciptakan system kapitalisme yang untuk awal dari modernisasi yang tidak seimbang. Sehingga diawali dari industrialisasi dengan menggunakan teori depedensi (ketergantungan, Andre Under Frank dan Fernando H. Cardoso,1948), Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat. Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian. Tahun 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan-- karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin. Keberpihakan para uskup pada penguasa memberikan kelanggengan dalam betuk penindasan secara institusional, ini merupakan factor dari teologi yang sifatnya elitis, metafisis. Di dalam islam sendiri dalam teologi pembebasan kita kenal tokoh Asgar Ali Engineer (india), Farid Isack (afrika selatan), dan ada juga tokoh yang mempunyai spirit dalam teologi transformasi yaitu Hasan Hanafi (Mesir) Ziaul Haque (Pakistan). Namun tokoh yang paling kita kenal dalam teologi pembebasan ialam Asgar Ali Enginer, disamping sebagai pemikir dia juga sebagai aktifis. Dia seorang pemimpin salah satu kelompok Syi'ah Isma'iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay India. Melalui wewenang keagamaan yang dia miliki, Asghar Ali Engineer berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Untuk itu dia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan.



 

Untuk memahami latar belakang keagamaan Asghar Ali Engineer , ada baiknya diketahui sepintas lalu kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki Amiru 'l Mukminin. Mereka mengenal 21 orang Imam. Imam mereka yang terakhir Mawlana Abu 'l-Qasim al-Thayyib yang menghilang pada tahun 526 H. Akan tetapi mereka masih percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da'i (dari perkataan itu berasal ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu. Seorang Da'i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali adalah seorang Da'i.



 

Dengan memahami posisi Asghar di atas kita tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer sangat vokal dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Ia menganjurkan bukan sekedar merumuskan "teologi transformatif" akan tetapi lebih dari itu. Asghar Ali Engineer menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi "teologi radikal transformatif". Ketika gagasan Teologi Pembebasan muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui Vatikan, ia menulis artikel "Teologi Pembebasan dalam Islam". Tulisan-tulisan dalam buku ini sarat dengan analisa filosofikal dan historikal untuk merumuskan "Teologi Pembebasan dalam konteks modern" seperti diinginkan oleh Asghar Ali.Engineer



 

Dalam bukunya Islam and Liberation Theology (1990) menjelaskan bahwa teologi pembebasan cenderung lebih konkret dan praktis, titik tekannya ialah realitas social. Sehingga tidak akan tercerabut dari akar kultur-sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Teologi pembebasan tidak netral. Artinya mempunyai keberpihakan dalam menentang staus quo, sebagai instrument untuk melepaskan belenggu manusia dari ketertindasan dan kelemahan yang dilakukan oleh penguasa. Sumber inspirasi dalam teologi pembebasan ialah Al-Qurqn dan Hadis, dimana dalam Al-Quran telah mengajarkan kepada kita tentang persamaan hak antar semua manusia, tidak ada diskriminasi antara satu dengan yang lain. Selain itu harus kita tauladani segala perbuatan nabi SAW. Beliau disamping sebagai rosul juga sebagai aktivis pembebas manusia dalam ketertindasan. Dalam pandangan Asgar Ali Enginer sejarah Nabi merupakan perubahan social, dimana keadaan social-ekonomi masyarakat Arab telah terjadi ketidakadilan oleh penguasa Qurays. Dan cenderung menghegemoni kegiatan ekonomi masyarakat. Menururt Thaha Husein, perjalanan dakwah nabi kalau hanya orirentasinya tentang ke-esaan Tuhan, tanpa memberikan penjelasan tentang pentingnya mendistribusikan sebagian hartanya dan persamaan hak, memerdekakan budak, mensejahterakan orang miskin maka konglomerat Quraisy akan menerima islam. Selain itu Ali juga memaparkan tauhid dan kufur. Dimana tauhid itu tidak hanya terbatas hanya meng-esakan tuhan, namun harus bisa menciptakan kehidupan di dalam struktur masyarakat tanpa kelas (classles society). Sedangkan kufur ialah "...orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan...". oleh karena itu semangat yang diambil ialah semuanya interpretasikan yang dilakukan oleh Asgar Ali Enginer tidak hanya berdimensi teologis, namun juga berdimensi social-ekonomi. Islam adalah agama yang mempunyai spirit keummatan universal. Tidak ada yang istimewa secara kekuasaan dimata Tuhan, semuanya tergantung kepada penjiwaan serta penerapan Islam secara holistic. Dasar dari islam ialah persaudaraan yang universal  (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan social (social justice). Pertama Islam menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang ditegaskan dalam Al-quran. “hai manusia ! kami ciptakan kamu laki-laki dan perempuan, kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku saling mengenal”. Kedua Islam menekan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Proyeksi teologi pembebasan lebih menitikberatkan pada aspek praksis daripada teoretisasi matefisik-teologis yang tidak jelas yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada dan apa yang seharusnya”. Islam bersifat liberatif, karena menjadi ancaman yang membahayakan bagi setatus quo atau segala bentuk kemapanan yang mengekploitasi kaum yang lemah. Menurut Asghar Ali Enginer agama mesti dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis yang berkembang mencapai puncaknya sehingga aspek filosofis ini menjadi bagian utama dari agama yang justru mendukung kelompok penindas. Jika agama masih dianggap sebagai kebaikan dan berdiri sepihak dengan revolusi, kemajuan, dan perubahan. Pembebasan teologi dilakukan untuk mengembangkan sebuah teologi pembebaan. Teologi pada masa ini cendrung ritualistik, dokmatis, dan bersifat metafisik yang membingungkan dan dikuasai oleh orang-orang yang mendukung status quo, sehingga agama yang demikian itu disamakan Asghar Ali Engineer dengan mistik dan menghepnotis masyarakat. Tugas teologi pembebasan adalah membersihkan setiap elemen ini sampai ke akar-akarnya. Agama tidak boleh berhenti pada urusan akhirat atau duniawi saja. Tetapi harus dapat menjaga relevansinya. Historisitas an kontemporesitas agama di satu pihak, serta urusan akhirat dan dunia di pihak lain. Harus di satukan sehingga menjadi sebuah agama yang hidup dan dinamis. Asghar sangat kecewa melihat agama yang hanya berupa segenggam ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas, dan para pekerja kasar, serta hanya menjadi latihan intelektual dan metafisik atau mistik yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Agar tidak melanggengkan kemapanan, ritual yang tidak memiliki ruh keagamaan dan juga abstraksi metafisik ini harus disingkirkan dari agama. Agama harus menjadi sumber motifasi bagi kaum tertidas untuk mengubah keadaan mereka dan menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara signifikan dengan memahami berbagai aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas.



 

Menurut Asghar Ali Engineer teologi pembebasan adalah


(1) mesti dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat.


(2) anti status quo yang melindungi golongan kaya dari pada golongan miskin, dan anti kemapanan baik agama, maupun politik,


(3) pembela kelompok yang tertindas dan tercabut hak milinya, serta memperjuangkan kepentingan mareka dan membekali mereka dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan para penindas


(4) di samping itu mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah ummat islam. Juga konsep bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri . teologi pembebasan mendorong pengembangan praksis islam sebagai tawar-menawar antara kebebasan mausia dan takdir. Teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap daripada sebagai konsep yang berlawanan.



 

MENGGUGAT SYARI’AH STATIS


Anggapan masyarakat bahwa teologi tidak memberi kebebasan kepada manusia, bagi Asghar Ali Engineer barsifat spasio-temporal. Padahal dalam arti metafisik dan di luar proses sejarah, teologi sangat memberi ruang yang bebas kepada manusia. Pembicaraan dalam teologi sebenarnya sarat dengan kekaburan metafisik dan masalah-masalah yang abstrak, karakteristik teologi konvensional telah memperkuat kemapanan, dan menagkibatkan para teolog berpihak pada status quo, semakin teolog itu tidak jelas secara metafisik maka akan semakin memperkuat status quo. Teologi pembebasan perlu dikembangkan agar agama tetap mendapat tempat di hati kelompok yang tertindas dan lemah. Agama itu opinium atau candu rakyat sebagaimana yang dikatakan karl Marx bukan dipahami sebagai bentuk meyalahkan agama seperti yang di sangka banyak orang, tetapi sebagai kritik erhadap agama yang pada saat itu tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Namun agama justru digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kemapanan, agar agama menjadi alat perubahan kata Asghar agama harus menjadi senjata bagi kelompok yang dieksploitasi. Agama tradisional jika diformulasikan dalam teologi pembebasan, dapat memainkan peran penting sebagai praksis yang revolusioner, dibandingkan dengan agama yang hanya berupa upacara ritual yang tidak bermakna. Asghar menegaskan bahwa agama dalam bentuk yang tradisional hanya merupakan ilusi, teapi bias menjadi kekuatan yang mengagumkan bila ditampilkan dalam bentuk yang membebaskan. Islam datang untuk menggugat status quo dan mengentaskan kelompok yang tertindas dan yang di eksploitasi. Bagi Asghar masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian yang lain yang lemah dan tertidas tidak dapat dikatakan/disebut sebagai masyarakat islam, meskipun mereka menjalankan ritualitas islam. Selama abad pertengahan para ulama justru du sibukan mendukung kemapanan. Mereka lebih meulis buku-buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan energi mereka untuk mengupas masalah-masalah fru’iyah dalam syari’ah. Dan sama sekali mengecilkan arti élan vital islam dalam menciptakan keadilan social dan kepedulian islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afin). Sehingga sampai saat ini islam yang diterima masyarakat adalah islam yang kental dengan status quo. Agar islam menjadi ruh bagi masyarakatnya maka yang harus dilakukan sekarang adalah menghapus system kapitalis yang didasarkan pada eksploitasi sesame manusia. Secara histories telah terjadi perdebatan teologi islam yang hangat berkenaan dengan soal kehendak atau pilihan bebas (qodariayah) vis a vis dengan ketundukan pada takdir tuhan selama periode umayyah. Kekuasaan Umayyah yang di pegang oleh Amir Mu’awiyah ingin menyebarkan dogma pre determinasi sebagai lawan dari kehendak bebas. Dalam rangka mempertahankan status quo yang mereka ciptakan. Sejak saat itu paham kehendak bebas dan pre determinasi menjadi bahan diskusi yang intensif dalam teologi islam, kontroversi antara para oposan pendukung paham kehendak bebas yang disebut aliran jabariyah dengan orang-orang yang mendukung penguasa yang membela paham pre determinasi yang disebut dengan aliran  Qadariyah menghebat selama periode monarki Umayyah. Semua aliran-aliran seperti Syi’ah, khawarij dan mu’ tazilah merupakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan mengeksploitasi. Dalam pandangan teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Asghar mengemukakan bahwa manusia diciptakan allah untuk menentukan nasibnya sendiri dalam batas-batas (hudud) yang diciptaknnya atau untuk melewati batas-batas itu. Sedangkan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas. Teologi pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam perspektif yang proporsional. Dalam teologi tradisional ketundukan keada kehendak Allah mengimplikasikan peneyerahan diri secara pasif kepada kemauannya. Dalam teks Al-qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas, karena Istilah itu mahakuasa tidak berarti memasung kebebasan dan inisiatif manusia. Justru kata-kata allah maha kuasa berarti dia berkuasa untuk membuat hokum alam dan memberikan kebebasan kepada kepada manusia untuk mengikutinya, hokum Allah itu merupakan kerangka nilai yang bermuara pada kemajuan dan kesehatan social, bebas dari struktur sosio-ekonomi yang menindas, meninggalkan harkat kemanusiaan dan tidak memberi tempat kepada para penindas dan eksploitator. Al-qur’an justru mendesak manusia untuk selalu berusaha meningkatkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan serta mengakhiri penindasan dan eksploitasi.


 

MENGGUGAT SYARI’AH STATIS

Menurut Asghar, al-qur’an itu bersifat normatif sekaligus pragmatis. Ajaran-ajarannya memiliki relevansi dengan zaman sekarang, seharusnya ajaran-ajaran tersebut tidak diperlukan sebagai ajaran normatif. Sebaliknya malah harus dilihat dalam konteks dimana ajaran tersebut harus ditepakan. Ada ayat yang memperlakukan secara kasar, tetapi mesti dilihat konteksnya secara propesional, misalnya wanita dibatasi hanya boleh berada dalam rumah dan laki-lakilah yang menghidupinya, Al-qur’an memperhitungkan kondisi ini dan menempatkan laki-laki alam kedudukasnnya yang lebih superior ketimbang perempuan. Tetapi harus dicatat ujar Asghar bahwa Al-Qur’an tidak menganggap atau menyatakan bahwa suatu struktur social bersifat normatif. Struktur social pasti dan akan selalu berubah dan jika dalam sebuah struktur social dimana perempuanlah yang menghidupi keluarganya atau bahkan lebih superior terhadap laki-laki dan memainkan peran dominant dalam keluarganya. Allah tidak membeda-bedakan ienis kelamin atau kodrat yang dibawa sejak lahir, ketidakadilan berasal dari struktur social yang menyebabkan superiotitas laki-laki atas perempuan yang inferior. Tetapi perlu dipahami bahwa al-qur’an juga mengungkapkan pernyataan normatif  dengan kata-kata yang tidak ambigu. Al-qur’an berisi kalimat-kalimat yang normative dan bersifat tramsendental, tetapi juga kontekstual yang disesuaikan dengan perubahan ruang dan waktu. Dia ingin menggugat syari’ah statis yang dianggap oleh para ulama konservatif bersifat ilahiyah dan tidak bisa di ubah. Dalam pandangan asghar syari’ah harus



(1) Berevolusi, dia tidak terbentuk dalam sekali jadi, tetapi berkembang melalui proses evolusi yang berliku-liku selama berabad-abad, dan



(2) syari’ah tidak pernah berhenti, statis dank arena itu tidak dapat berubah sebagaimana anggapan banyak orang, setelah mempunyai bentuknya yang dapat dikenali para fuqaha harus menagkui prinsip ijtihad yakni penafsiran dan penerapan fiqh secara kreatif dalam berhadapan dengan berbagai keadaan baru. Prinsip ijtihad sejauh yang dierapkan merupakan unsure dinamis dalam hokum islam. Hokum syari’ah berkembang sebagai respons terhadap berbagai tantangan dan persoalan. Bagi Asghar syari’ah merupakan hokum yang bersifat situasional dan bukan transcendental, karenanya harus dierapkan secara kreatif dalam berbagai kondisi yang berubah. Syari’ah lebih dianggap sebagai pendekatan kepada islam daripada sebagai hokum, pendekatan ini sangat memperluas ruang lingkup rumusan syari’ah. Jika syari’ah merupakan soal pendekatan, mengapa kaum muslim membatasi diri mereka kepada teks –teks yang melingkupi metode-metode pendekatan tradisional dan tidak berpikir ulang dengan mempertimbangkan tuntutan dan realitas zaman sekarang. Pendekatan ini akan terbukti lebih bermamfaat sejauh menyangkut hokum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan masalah perempuan. Baik hokum pologami, atau pun talak tiga sekaligus semuanya dapat diuji kembali dalam kesadaran baru yang muncul pada zaman kita. Sebagimana kesadaran baru telah membawa kepada penghapusan perbudakan, begitu juga seharusnya muncul gerakan perempuan demi persaman hak yang akan mengakibatkan hokum syari’ah mengenai perempuan dipertimbangkan kembali dan dalam kenyataannya, hal ini tak terelakan.                 

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              

 
Design by marlaf sucipto dan moh. mukit | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons